1798 menyaksikan kelahiran Auguste Comte di Montpellier, Prancis, dari keluarga Katolik keturunan kerajaan. Dia belajar di Ecole Polytechnique di Prancis, tetapi tidak menyelesaikan studinya karena banyak ketidakpuasan dan fakta bahwa dia adalah siswa yang keras kepala dan pemberontak.
Akhirnya, Comte memulai karir profesionalnya dengan mengajar privat matematika. Selain matematika, ia juga tertarik pada masalah kemasyarakatan, dan minat ini meningkat setelah ia berteman dengan Saint Simon, yang merekrut Comte sebagai sekretarisnya.
Situasi ekonominya biasa-biasa saja, dan dia pasti hidup dalam kemiskinan karena dia tidak pernah mendapat kompensasi yang memadai untuk mengajar sesi individu, dan biaya pendidikan di Prancis pada saat itu sangat tinggi.
Pada tahun 1842, ia menyelesaikan enam jilid Kursus Filsafat Positif dan Sistem Politik Positif, yang ia persembahkan untuk pahlawannya Clothilde de Vaux dan yang sangat memengaruhi upaya besar keduanya. itu. Dan berdasarkan karya tunggal ini, dia mendalilkan pembentukan agama kemanusiaan yang menyoroti pentingnya aspek manusia dalam mencapai masyarakat positivis.
Kehidupan Comte pada akhir Revolusi Prancis ditandai dengan serangkaian pergolakan yang terus-menerus, mendorongnya untuk menekankan pentingnya tatanan sosial.
Hidupnya berakhir dengan penderitaan dan kemiskinan pada tahun 1857, namun kita masih mengingat namanya karena kecemerlangan ide dan pemikirannya.
Pandangan Comte Dalam Lingkungan Sosial Dan Konteks Intelektual
Untuk memahami filosofi Auguste Comte, kita harus menghubungkannya dengan lingkungan budaya dan intelektual Prancis. August Comte hidup selama Revolusi Prancis, yang membawa perubahan besar pada semua aspek kehidupan publik di Prancis. Revolusi ini telah melahirkan dua pandangan yang saling bertentangan, yaitu sikap optimis terhadap masa depan yang lebih cerah dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan sikap konservatif atau curiga terhadap perkembangan yang mengarah pada anarki dan individualitas.
Lingkungan intelektual Prancis ditentukan oleh dua kelompok intelektual: pengikut filosofi sejarah yang membentuk konsep kemajuan, dan penulis yang lebih terlibat dalam masalah organisasi masyarakat. Penggemar filsafat sejarah sangat memperhatikan pertanyaan apakah sejarah memiliki tujuan, apakah sebuah desain terungkap dalam proses sejarah yang dapat dikenali oleh wahyu atau akal manusia, dan apakah sejarah memiliki tujuan atau hanya rangkaian kebetulan. Dari Fontenelle, Abbe de St. Pierre, Bossuet, Voltaire, Turgot, dan Condorcet, banyak kepribadian dapat diidentifikasi. Mereka yang menaruh perhatian pada isu-isu organisasi kemasyarakatan sangat memperhatikan isu-isu integrasi dan ketimpangan. Tokohnya antara lain Montesquieu, Rousseau, De Bonald.
August Comte dipengaruhi oleh filsuf sejarah Turgot dan Condorcet. Turgot menciptakan dua undang-undang terkait kemajuan. Postulat pertama menyatakan bahwa setiap langkah menghasilkan percepatan. Hukum kedua adalah hukum tiga tahap perkembangan intelektual. Pada tahap pertama, penyebab fenomena yang akan dijelaskan ditemukan dalam aktivitas makhluk spiritual; pada tahap kedua, gejala dijelaskan melalui abstraksi; dan pada tahap ketiga, matematika dan eksperimen digunakan. Studi sejarah, menurut Condorcet, memiliki dua tujuan. Pertama, ada kepercayaan bahwa sejarah dapat diramalkan jika hukum-hukumnya diketahui (diperlukan sejarah Newton). Tujuan kedua adalah untuk mengganti keyakinan akan masa depan yang ditentukan oleh wahyu dengan keyakinan akan masa depan sekuler. Menurut Condorcet, ada tiga tahap perkembangan manusia: mengungkap perbedaan antar bangsa, mengembangkan kesamaan nasional, dan kemajuan manusia sejati. Selain itu, Condorcet menyatakan bahwa sejarah dapat dipelajari melalui pengalaman masa lalu, mempelajari perkembangan ilmu peradaban manusia, dan menilai evolusi pemahaman manusia terhadap alam.
Dan penulis yang menaruh perhatian pada tantangan pengorganisasian masyarakat, August Comte, dipengaruhi oleh de Bonald, yang memandang dampak Revolusi Prancis dengan skeptis. Menurutnya, satu-satunya hasil dari revolusi ini adalah masyarakat yang anarkis dan individualis. De Bonald memandang kesatuan masyarakat sebagai dipandu oleh sekelompok orang yang diterangi oleh semangat Gereja dengan menggunakan pendekatan organik. Individu dituntut untuk tunduk kepada masyarakat.