Biografi KH Mas Mansyur (Ketua Muhammadiyah 1937 – 1941)

Mas Mansyur

Sebelum Muhammadiyah Cabang Surabaya berdiri, KH Ahmad Dahlan sering berdakwah di wilayah ini. Tabligh-tabligh digelar di Peneleh, Surabaya, untuk pengajian Al-Qur’an. Dalam kajiannya, Bung Karno dan Roeslan Abdul Gani untuk pertama kalinya dipaparkan tafsir doktrin Islam KH Ahmad Dahlan.

KH Ahmad Dahlan menginap di penginapan tersebut setiap kali melakukan tabligh di Surabaya. Namun, suatu malam ia didatangi tamu yang meminta agar setiap KH Ahmad Dahlan yang bepergian ke Surabaya diizinkan menginap di rumahnya. Kiai Haji Mas Mansur yang merupakan pengunjung. Mas Mansur selalu mendengarkan pengajian KH Ahmad Dahlan, dan dia tertarik baik dari isi kajian yang dibawakannya maupun kesederhanaannya.

Kamis, 25 Juni 1896, di Surabaya, lahirlah Mas Mansur. Ibunya, bernama Raudhah, adalah seorang wanita kaya dari Pondok Pesantren keluarga Sidoresmo, Wonokromo, Surabaya. Ayahnya, KH Mas Ahmad Marzuqi, adalah seorang ulama terkemuka di Jawa Timur saat itu dan pelopor Islam. Ia merupakan keturunan bangsawan Astatinggi Sumenep dari Madura. Ia dikenal sebagai imam tetap dan khatib di Masjid Agung Ampel Surabaya, jabatan terhormat saat itu.

Hanya ayahnya yang mengajarinya tentang agama selama masa mudanya. Selain itu, ia bersekolah di Pondok Pesantren Sidoresmo di bawah asuhan Kiai Muhammad Thaha. Pada tahun 1906, ketika Mas Mansur berumur 10 tahun, ayahnya menyekolahkannya ke Pondok Pesantren Demangan di Bangkalan, Madura. Itu dia, membaca Al-Qur’an dan kitab Alfiyah bin Malik kepada Kyai Khalil. Ia baru belajar di sana kurang dari dua tahun ketika Kiai Khalil meninggal dunia, mendorong Mas Mansur untuk meninggalkan pesantren dan kembali ke rumahnya di Surabaya.

Pada tahun 1908, sekembalinya dari Pesantren di Demangan, orang tuanya meminangnya untuk menunaikan ibadah haji dan belajar di Makkah dengan Kiai Mahfudz, yang berasal dari Pesantren Pondok di Termas, Jawa Tengah. Politik di Arab Saudi mendorongnya untuk melakukan perjalanan ke Mesir setelah dia belajar di sana selama empat tahun. Penguasa Arab Saudi, Sultan Sharif Hussen, mengeluarkan arahan yang mewajibkan semua orang asing untuk meninggalkan Mekah sehingga tidak ada yang bisa menentangnya. Awalnya, ayah Mas Mansur melarang anaknya ke Mesir karena citra Kairo yang dianggapnya sebagai tempat orang-orang melakukan perbuatan asusila. Meski demikian, demi kepentingan itu, Mas Mansur tetap melakukan apa yang diinginkannya tanpa izin orang tuanya. Karena tidak menerima kiriman uang dari orang tuanya untuk membiayai sekolah dan biaya hidup, mereka harus menanggung kepahitan dan kesulitan. Dia sering berpuasa pada hari Senin dan Kamis dan menerima uang dan makanan dari masjid karena . Setelah satu tahun, orang tuanya akan mengiriminya uang untuk belajar di Mesir.

Dia belajar dengan Syekh Ahmad Maskawih di Universitas Al-Azhar di Mesir. Kondisi atmosfer di Mesir saat ini ditandai dengan pembangunan dan pertumbuhan semangat nasionalis yang tak henti-hentinya dan reformasi sistem politik bangsa. Sejumlah tokoh menumbuhkan semangat rakyat Mesir, baik melalui media maupun melalui pidato. Mas Mansur juga menggunakan ini untuk keuntungannya dengan meminta individu untuk membaca tulisannya yang disebarluaskan dan menghadiri pidatonya. Sekitar dua tahun dihabiskan di Mesir. Sebelum kembali ke Indonesia pada tahun 1915, ia singgah selama satu tahun di Makkah.

Setelah menamatkan pendidikannya di Mesir dan Mekkah, ia menikah dengan Siti Zakiyah, putri Haji Arif, yang tinggal di dekatnya. Mereka dikaruniai enam anak, yakni Nafiah, Ainurrafiq, Aminah, Muhammad Nuh, Ibrahim, dan Luk-Luk, hasil pernikahannya. Ia juga menikah dengan Halima selain Siti Zakiyah. Karena Halimah meninggal dunia pada tahun 1939, ia hanya menikah dengan istri keduanya selama dua tahun.

Setelah pulang dari belajar di luar negeri, langkah pertama Mas Mansur adalah bergabung dengan Syariat Islam. Peristiwa yang dia amati dan alami dengan baik di Mekkah, yang merupakan pergolakan politik, tetapi bukan peristiwa di Mesir, yang merupakan gerakan dan reformasi nasionalis, memberinya sumber daya yang dia butuhkan untuk maju dalam sebuah organisasi. SI saat ini dipimpin oleh HOS Cokroaminoto dan dikenal sebagai kelompok radikal dan revolusioner. Sebagai Advisor Manager SI, dia memiliki banyak keyakinan.

Mas Mansur juga membentuk majelis musyawarah dengan Abdul Wahab Hasbullah yang diberi nama Taswir al-Afkar. Situasi ini mendorong terbentuknya ‘rakyat lotan sombong kabut Surabaya’. Masyarakat tidak mudah dibujuk untuk bergerak maju, dan anggotanya juga tidak mudah menerima cara berpikir baru yang tidak konvensional. Taswir al-Afkar adalah tempat berkumpulnya para ulama Surabaya terdahulu setelah menyelesaikan studinya di rumah atau di surau masing-masing. Isu-isu yang dibahas terkait dengan masalah alam murni secara agama hingga muncul konflik dengan penjajah secara politis.

Kegiatan Taswir al-Afkar yang banyak menginspirasi lahirnya kegiatan-kegiatan lain di berbagai kota, seperti Nahdhah al-Wathan (Kebangkitan Nasional) yang menitikberatkan pada pendidikan. Sebagai kelanjutan dari Nahdhah al-Wathan, Mas Mansur dan Abdul Wahab Hasbullah mendirikan madrasah Khitab al-Wathan (Tiang Negara), dilanjutkan dengan madrasah Ahl al-Wathan (Keluarga Tanah Air) di Wonokromo, Far’u al-Wathan ( Cabang Tanah Air) di Gresik, dan Hidayah al – Wathan (Arah Tanah Air) Jika diperhatikan, dari nama yang muncul yaitu apa arti tanah air, maka dapat ditentukan bahwa kecintaan mereka terhadap tanah airnya sangat kuat. rakyat Indonesia untuk membebaskan negaranya dari penjajah yang menindas. Yang mereka harapkan adalah pemerintah beroperasi secara independen dari bangsa lain. Taswir al-Afkar adalah forum diskusi, dengan fokus pada khilafiyah, madzhab, dan ijtihad. Mas Mansur dan Abdul Wahab Hasbullah memiliki pandangan yang berbeda tentang masalah yang dihadapi, hal ini memicu kepergian Mas Mansur dari Taswir al-Afkar.

 

Massa tulisan Mas Mansur juga padat. diterbitkan di media adalah pemikiran utusannya. Siswa suara adalah judul publikasi pertama dari jenisnya. mengatakan nama mahasiswa digunakan sebagai judul majalah karena saat ini kata mahasiswa sangat disukai masyarakat. Suara Siswa mencapai sukses gemilang karena merupakan publikasi. Terbitan majalah Mas Mansur yang kedua kalinya berjudul Jinem. Publikasi dua bulanan ini menggunakan bahasa pemrograman Java dan aksara Arab. Publikasi kedua adalah sarana untuk mengungkapkan pikiran seseorang secara tertulis, dan para remaja didorong untuk mempraktikkan keterampilan ini. Melalui majalahnya, Mas Mansur mendorong umat Islam untuk meninggalkan politeisme dan ortodoksi. Selain itu, Mas Mansur nantinya akan menjadi redaktur majalah Sahabat Kita yang berbasis di Surabaya.

 

Setiap penerbitan majalah karya Mas Mansur Siaran dan majalah manfaat di Surabaya; Advokat dan Gerakan Islam di Yogyakarta; Spanduk Islami dan Pedoman Masyarakat di Medan dan Pekan Raya di Solo. Mas Mansur juga mencatat pemikiran dan gagasannya dalam bentuk buku, antara lain Hadits Nabawiyah, Syarat Shahnya Nikah, Risalah Tauhid dan Syirik, dan Adab al-Baths wa al-Munaflarah.

 

Selain aktif di bidang kepenulisan, ia juga berkecimpung di bidang organisasi, meskipun keterlibatannya di dunia jurnalistik terhalang oleh keterlibatannya di organisasi. Mas Mansur bergabung dengan organisasi Muhammadiyah pada tahun 1921. Kiprah Mas Mansur di Muhammadiyah memberikan angin segar dan mendukung keberlangsungan organisasi. Mas Mansur selalu menaiki tangga dengan hebat. Hal ini terlihat dari jenjang yang dilaluinya yaitu setelah Ketua Muhammadiyah Cabang Surabaya menjadi Konsul Muhammadiyah wilayah Jawa Timur. Pada tahun 1937-1943, Mas Mansur naik tangga menjadi ketua dan pengurus Muhammadiyah Agung. Pada bulan Oktober 1937, Muktamar Muhammadiyah ke-26 di Yogyakarta mengukuhkan Mas Mansur sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah.

Menjelang pemilihan Mas Mansur sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, sejumlah detail penting telah dicatat. Kekuatan Momen Iklim Ketidakpuasan yang Tumbuh Pemuda Muhammadiyah terhadap Pengelola Kebijakan Muhammadiyah yang besar memberikan penekanan yang berlebihan pada pendidikan, hanya berfokus pada persoalan sekolah Muhammadiyah dengan mengabaikan bidang tabligh. Generasi muda Muhammadiyah berpendapat bahwa Pengurus Besar Muhammadiyah hanya diperintah oleh tiga tokoh yang dituakan: KH Hisham (Ketua Pengurus Besar), KH Mukhtar (Wakil Ketua), dan KH Syuja (Ketua Divisi PKO).

Pada tahun 1937, pada Muktamar Muhammadiyah ke-26 di Yogyakarta, semakin banyak cabang Muhammadiyah yang menentang tiga tokoh lama itu. Yang semakin tidak puas adalah para pemuda komunitas Muhammadiyah. Namun, usai dialog, sosok ketiga yang ikhlas itu mengundurkan diri.

Ki Bagus Hadikusumo melamar menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, namun ditolak. Kiai Hadjid juga menolak saat dihubungi soal Menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Mas Mansur menjadi fokus perhatian (Konsul Muhammadiyah Regional Surabaya). Awalnya Mas Mansur menolak, namun setelah negosiasi panjang, ia setuju menjabat sebagai ketua dan pengurus Muhammadiyah Agung.

Pergeseran kepemimpinan Pengelola Madiyah Agung Muhammadiyah dari golongan tua ke golongan muda untuk menunjukkan bahwa Muhammadiyah sangat akomodatif dan demokratis terhadap aspirasi kalangan pemuda progresif untuk kemajuan Muhammadiyah dan bukan untuk keuntungan pribadi. Pengurus Pun Pada masa pemerintahan Mas Mansur, tokoh-tokoh muda Muhammadiyah yang cerdas, lincah, dan progresif mendominasi suasana.

Sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, Mas Mansur bertindak disiplin dalam berorganisasi. Penyelenggaraan ujian besar Muhammadiyah selalu tepat waktu. Begitu pula dengan tamu Muhammadiyah dari daerah lain. Tidak Sama dengan Pengelola Jurusan Muhammadiyah sebelumnya sering menyelesaikan urusan Muhammadiyah di rumah; Namun, Mas Mansur menegaskan bahwa praktik seperti itu merugikan disiplin organisasi, karena Pengurus Besar Muhammadiyah memiliki kantor sendiri, beserta semua staf dan perlengkapannya. Namun, ia selalu siap menerima tamu Muhammadiyah dari daerah tempatnya berbisnis yang tidak ada hubungannya dengan Muhammadiyah.

Langkah Muhammadiyah 1938-1949 akan diwarnai oleh kepemimpinannya yang bijaksana. Ada total dua belas langkah. Mas Mansur juga menimbulkan banyak gebrakan dalam hukum Islam dan politik Islam di kalangan umat Islam saat itu. Selain itu perlu dicatat bahwa Mas Mansur tidak segan-segan mengambil kesimpulan bahwa hukum bank itu haram, tetapi dibolehkan, dimudahkan, dan diampuni jika keadaan mengharuskan demikian. Ia berpendapat bahwa secara hukum, bunga bank adalah haram, namun ia mengamati bahwa rekening nominal umat Islam berada dalam kondisi yang sangat genting, padahal momen ekonomi perbankan sudah menjadi sistem yang kuat di masyarakat. Sesuai dengan ketentuan ini, umat Islam diperbolehkan menggunakan jasa perbankan untuk keperluan perbaikan infrastruktur yang semakin rusak.

Mas Mansur saat ini sedang ramai dibicarakan di ranah politik umat Islam. Sebelum menjadi Ketua Umum PB Muhammadiyah, Mas Mansur sudah terlibat dalam berbagai kegiatan politik di lingkungan umat Islam. Setelah menjadi ketua PB Muhammadiyah, ia mulai terjun ke dunia politik yang cukup menggemparkan untuk menyukseskan umat Islam. Ia ikut mendirikan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) bersama KH Ahmad Dahlan dan KH Wahab Hasbullah, keduanya berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama. Bersama Dr. Sukiman Wiryasanjaya, ia memprakarsai pembentukan Partai Islam Indonesia (PII) sebagai penyeimbang sikap Partai Syarikat Islam Indonesia yang tidak kooperatif. Begitu pula ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Mas Mansur merupakan salah satu dari empat tokoh nasional ternama, antara lain Soekarno, Mohammad Hatta, dan Ki Hajar Dewantara.

Ki Bagus Hadikusumo naik ke posisi Ketua Umum PB Muhammadiyah akibat pertunangan empat seri yang membatalkan relokasinya ke Jakarta. Namun, kekejaman yang wajar dari pemerintah Luar Jepang terhadap rakyat Indonesia menyebabkan dia memutuskan untuk kembali ke Surabaya, dengan Ki Bagus Hadikusumo menggantikannya dalam empat rangkaian kegiatan tersebut.

Mas Mansur masih belum pulih dari sakitnya ketika perang kemerdekaan dideklarasikan. Namun, ia gigih berjuang untuk menginspirasi barisan pemuda menentang kedatangan tentara Belanda. Akhirnya ia ditangkap oleh tentara NICA dan dipenjarakan di Surabaya. Mas Mansur meninggal dunia dalam tahanan pada tanggal 25 April 1946, di tengah pecahnya perang kemerdekaan. Jenazahnya dimakamkan di Gipo Surabaya. Bersama H. Fakhruddin, ia diangkat menjadi pahlawan nasional oleh pemerintah Republik Indonesia atas jasa teladannya.